Buntok – Dalam upaya meningkatkan regulasi dan adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat, Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda) Kabupaten Barito Selatan telah melakukan koordinasi dengan Biro Hukum Provinsi serta melaksanakan kunjungan kerja sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan. Hasil evaluasi tersebut merekomendasikan pencabutan Peraturan Daerah (Perda) yang sudah ada, karena dianggap tidak lagi relevan, khususnya dalam hal pengaturan mekanisme ganti rugi. Hal ini diungkapkan oleh Ensilawatika Wijaya, yang menjelaskan bahwa kondisi hukum yang ada perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis.
Saat ini, Bamperda tidak hanya fokus pada pencabutan Perda lama, tetapi juga tengah mengembangkan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prioritas. Pertama adalah Raperda tentang Ketahanan Pangan Daerah, yang sangat krusial mengingat daerah Barito Selatan rentan terhadap bencana alam, terutama banjir. Dengan adanya raperda ini, pemerintah daerah akan dilengkapi dengan kekuatan hukum untuk membentuk dan mengelola cadangan pangan secara mandiri. Hal ini sangat penting untuk memastikan ketahanan pangan masyarakat di saat-saat darurat.
“Melalui perda ini, jika bencana seperti banjir terjadi, pemerintah daerah dapat langsung menyalurkan bantuan pangan kepada masyarakat tanpa perlu menunggu bantuan dari provinsi. Ini tentu akan meningkatkan responsivitas dalam penanganan situasi darurat,” ungkap Ensilawatika Wijaya, SE.
Selain itu, Raperda mengenai Perlindungan Masyarakat Hukum Adat tengah berada dalam proses pendalaman. Bamperda menekankan pentingnya penyusunan raperda ini secara hati-hati dan melibatkan partisipasi masyarakat, karena substansi yang diatur menyangkut pengakuan serta perlindungan hak-hak masyarakat adat di Barito Selatan. Pendekatan yang inklusif ini bertujuan agar raperda dapat mencerminkan kondisi sosial budaya yang ada.
“Kami berkomitmen untuk melakukan proses regulasi ini secara inklusif. Kami sedang mengumpulkan berbagai referensi serta akan melibatkan kelompok-kelompok adat, seperti Dewan Adat Dayak (DAD) Batamat dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sehingga perda yang dihasilkan benar-benar mewakili kepentingan masyarakat lokal,” tambahnya.
Perda ini nantinya akan menjadi basis hukum untuk menetapkan wilayah adat serta menyelesaikan potensi konflik atau tumpang tindih klaim kepemilikan lahan yang ada antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta. Dengan demikian, klaim sepihak atas tanah adat bisa diminimalkan. Bamperda juga akan membentuk tim independen untuk memverifikasi batas wilayah adat secara objektif dan transparan.
“Melalui upaya ini, kami berharap bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dapat ditegakkan, dan potensi konflik mengenai kepemilikan tanah dapat diminimalisir guna menciptakan kedamaian di masyarakat,” ungkap Ensilawatika Wijaya, SE.
Rapat lanjutan untuk membahas kedua Raperda ini dijadwalkan akan dilakukan dalam forum Badan Musyawarah (Bamus), menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam merealisasikan program-program yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.
Komentar